Coffee Culture: Awal Mula Penyebaran dan Penyajian

(photo credit: pinterest)

Legendanya, kopi ditemukan oleh seorang pengembala kambing di dataran tinggi Habasyah (Etiopia) yang memperhatikan kambingnya menjadi lebih lincah setelah mengkonsumsi biji-bijian yang sekarang dikenal dengan sebutan kopi. Namun kemudian kopi baru dibudidayakan oleh para petani di Yaman. Kemudian masyarakat Yaman memberi nama pada biji-bijian tersebut dengan sebutan qahwa, yang asalnya berarti minuman anggur beralkohol. 

John McHugo, penyusun buku A Concise History of the Arabs, menjelaskan bahwa sebagian kaum sufi biasa meminum kopi untuk membantu konsentrasi mereka, utamanya terkait aktivitas dzikir mereka. Namun sempat terjadi perdebatan yang cukup panjang tentang kehalalan kopi sebagai minuman suplemen ini. Pada masa-masa perdebatan yang cukup panjang tersebut masih berlangsung, warung-warung kopi mendapat stigma sebagai tempat yang lebih buruk dibanding ruangan minuman anggur, tempat perkumpulan intelektual, rival bagi masjid sebagai tempat berkumpul, bahkan dianggap sebagai tempat kampanye yang berpotensial subversif bagi pemerintah. Kondisi tersebut memuncak saat Sultan Murad IV yang memerintah menjelang pertengahan abad ke-17 M menetapkan hukuman mati untuk meminimalisir maraknya warung kopi, dan berakhir ketika perdebatan panjang berakhir pada kesimpulan bolehnya konsumsi kopi.

Di awal abad yang sama, abad ke-17 M, kopi menyebar ke Eropa melalui Turki Utsmani, selain berlayar langsung dari pelabuhan kota Al-Mukha, negeri Yaman. Di pelabuhan Al-Mukha, kopi dibeli oleh Persekutuan Dagang India Timur Inggris serta VOC dan dibawa pulang lewat Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) di Afrika Selatan atau langsung diekspor ke India dan negeri lainnya. Kopi juga mencapai benua Eropa melalui perdagangan di Laut Mediterania, dan melalui Pasukan Turki yang berlayar melintasi Sungai Danube. 

Persebaran kopi di Benua Eropa sebagai budaya minuman memiliki karakteristik yang mirip dengan persebarannya di Timur Tengah. Warung kopi menjadi tempat berkumpul bagi kaum pria untuk berbincang-bincang, membaca, bertukar pikiran tentang isu semasa, serta bermain games seperti catur atau backgammon. Sebagaimana stigma di Timur Tengah, mulai menjamurnya warung kopi di Eropa juga menjadi tempat penyebaran kampanye anti-pemerintah, di mana diketahui bahwa revolusi Perancis terfasilitasi dengan adanya warung kopi. Awalnya, kopi dianggap sebagai minuman kaum muslimin, namun setelah Paus Clement VIII mencoba dan menyukainya, kopi dinobatkan sebagai minuman yang diterima kaum kristiani saat itu. 

Konsumsi kopi Eropa diketahui melesat di Austria ketika pengepungan tentara Turki terhadap kota Vienna pada 1683 dikalahkan oleh pasukan Eropa, yang kemudian mendapatkan suplai biji kopi yang melimpah sebagai rampasan perang. Cara penyajian kopi di kota Vienna yang berdampingan dengan segelas air bening diduga berkaitan dengan peristiwa pengepungan tersebut, sebab kemiripannya dengan tradisi minum kopi yang ada baik di Istanbul, Damaskus, atau pun Kairo.

Selain dengan tradisi penyajian tersebut, kopi juga disajikan dengan cara lain, misalnya dengan mencampurkan perasa dari rempah-rempah seperti kapulaga dan rempah lainnya. Cara penyajian ini dikenal marak pada kopi yang berasal dari kawasan Teluk yang terkenal pahit. Di sana, kopi disajikan pada waktu yang tepat, beberapa saat setelah tamu tiba, tidak boleh terlalu cepat sebab ia dapat memberi kesan mengusir, dan beberapa saat sebelum tamu beranjak pamit. Kopi juga seringkali disajikan sesaat sebelum atau setelah secangkir teh hitam yang manis. Budaya penyajian kopi berurutan dengan teh inilah yang saat itu membuat para pendatang dari Barat terkesima. 

Bagikan: